Kamis, 12 November 2015

Selamat Hari Ayah, Pa


Hari ini ramai sekali orang menyebutnya sebagai Hari Ayah. Beruntung sekali mereka yang masih bisa bercakap-cakap dengan ayah mereka. Saya hanya bisa mengucapkannya melalui doa. Ah, saya selalu sentimentil jika membahas tentang dia. Dia yang sudah 15 tahun ini tidak saya temui. Dia yang 15 tahun ini saya yakin sudah bahagia dengan tenang. Semoga.

Saya cuma dikasih waktu sama Tuhan untuk bersama-sama dia selama 11 tahun. Tapi, di waktu yang sesempit itu saya tetap bersyukur. Ada banyak hal yang melekat di otak saya, yang sedikit-sedikit membentuk diri saya menjadi saya yang sekarang.

Saya masih ingat ketika dia mengajarkan saya bermain catur, dari situ saya tahu, jadi perempuan harus juga bisa berstrategi, jadi perempuan harus berpijak pada nalar dan logika yang kuat. Dia memang memanjakan saya, tapi dia juga tidak selalu memenuhi apa yang saya mau. Dia mengajarkan secara tidak langsung bahwa tidak semua perasaan harus dituruti. Dia mendidik saya untuk menjadi perempuan yang tidak mendewakan perasaan.

Dia memang tidak bisa menyaksikan saya tumbuh dewasa, dia tidak bisa menasihati saya ketika saya berada dalam kesulitan. Dia tidak bisa berdialog dengan saya tentang apa yang saya kerjakan. Tapi saya tahu, dia mengawasi saya dalam ketiadaan.

Seseorang pernah bilang ketika saya sering gagal berhubungan dengan pria, “Kamu hanya menghidupkan arca ayahmu di laki-laki yang jadi pasanganmu. Kamu tahu, nggak akan ada yang seperti ayahmu.” Saya tertampar habis-habisan. Mungkin memang, tanpa sadar saya mencari sosok-sosok yang mirip dengannya untuk dijadikan pasangan. Walau saya tahu, betapa naif jika saya membandingkan laki-laki lain dengan dia.

Ayah saya bukan pria tanpa kekurangan. Seringkali karena dia mencoba untuk menjadi sempurna, dampaknya ialah ia tidak bisa memprediksi apa-apa, termasuk umurnya sendiri. Ia tidak bisa memperhitungkan apa yang terjadi terhadap keluarga sepeninggal dirinya ketika kami belum siap dengan kepergiannya.

Ia mungkin kuat, tapi ia tidak sekuat itu ketika Tuhan mengatakan bahwa waktunya di dunia sudah habis. Ia berhasil membuat kami merasa dia baik-baik saja. Ah, kejahatan besar yang ia lakukan ialah tidak pernah terlihat lemah dan kesakitan di hadapan keluarganya sendiri.

Terima kasih, Pa, sudah menjadi ayah terbaik. Menjadi panutan yang berpikiran terbuka. Menjadi penjaga yang tidak diktator. Sayang, waktu kita tidak banyak.

Selamat hari Ayah. Peluk dan cium ayah kamu yang masih hidup. Untuk yang sudah dan akan menjadi ayah, jadilah ayah yang bisa dibanggakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar