Jumat, 18 April 2014

Menatap Bali melalui Kacamata Pelukis Belanda

Pameran “Banten” Jan Peter van Opheusden



Wajah-wajah polos anak-anak di Bali lengkap dengan udeng-nya (ikat kepala khas Bali) terangkum dalam lukisan “Children of Bali” dari Jan Peter van Opheusden yang dipamerkan di Erasmus Huis, Kuningan, Jakarta, 24 Maret-11 April 2014. “Ketika melukis anak-anak itu, saya memotret mereka terlebih dulu, saya tidak mengkopi, foto hanya sebagai medium.” ujar Opheusden. Anak-anak tentu tidak bisa berdiam dalam waktu lama untuk dilukis.
Selain anak-anak, ada upacara, tarian, dan aktivitas lainnya yang juga Opheusden tuangkan dalam pameran bertajuk “Banten” itu. Kata Banten yang dimaksud bukanlah Banten sebagai sebuah provinsi, tapi ‘Banten’ yang berarti ‘persembahan’ atau dedikasi dalam bahasa Bali. Sejumlah  upacara memang sering sekali bisa ditemukan di Bali, kepada alam, mereka memberikan persembahan dalam bentuk ‘sesajen’.

“Tajen” sebagai kegiatan sabung ayam yang begitu mudah dijumpai di Bali, juga dihadirkan Opheusden. Dari lukisan yang indah-indah ini apa yang bisa ditawarkan lagi ketika para kritikus seni sudah mengatakan, seni lukis telah menjadi ragam kesenian yang mati? “Secara tema, mungkin memang sudah tak ada yang baru, semua sudah diolah, dari segi bentuk pun juga semua sudah digarap, tapi bicara soal subjektivitas dan intuisi dalam seni lukis, itu hal yang tak akan ada habisnya. Sudut pandang seniman itu yang akan selalu berbeda.” ujar Jean Couteau yang  membuat tulisan untuk pameran ini. Bicara soal lukisan Opheusden, berarti bicara tentang rupa melalui warna yang ia rasakan. Dua bulan mengenal Opheusden, Couteau terkesan dengan keluguan dan kespontanannya. “Bicara dengannya seperti menemukan sosok anak-anak dalam dirinya.” Mungkin itu pula yang membuat ragam wajah anak-anak menjadi subjek menarik yang cukup banyak digambarkan Opheusden. Bisa jadi di kepolosan anak-anak itu, ia pun kerap menemukan dirinya. “Di sana (Bali), saya seperti tidak perlu bekerja, saya seperti berlibur setiap harinya.” ujar Opheusden. Pelukis kelahiran Eindhoven 1941 ini hampir setiap tahun berkunjung ke Bali, dan merasa begitu nyaman berada di sana, berada di tengah orang-orangnya, juga budayanya, ia merasa tidak kesulitan membahasakan kebudayaan di sana ke dalam kanvasnya.

Warna emas sebagai simbol kekayaan
Di lukisan “Upacara di Pantai”, tanah atau pasirnya ia hadirkan dengan warna emas. Ia katakan, Bali adalah pulau yang begitu kaya, karena itulah nuansa emas, ia torehkan di berbagai lukisannya, seperti di “Pasar Badung”, “Tajen”, “Banten”, dan “Heaven Can Wait”.  

Bagi Couteau, keajaiban warna hasil pertemuan Opheusden dengan realitas yang menampilkan ekspresi subjektif di karya-karya bernada figuratif milknya ini merupakan suatu hal yang menarik. Intuisi menjadi letak yang begitu penting. Karena itulah menurut Couteau lagi, ketika berhadapan dengan “Banten” Opheusden ini, harus ‘memasukinya’ dalam keadaan ‘kosong’. “Mengkosongkan diri dari segala prasangka dan pengetahuan yang kita punya tentang Bali, untuk kemudian membuka kembali diri kepada intuisi murni, agar bisa menikmatinya, bagaimana ia membangun ruang imajiner dalam benak kita.” Intuisi Opheusden terlihat begitu kuat dalam karyanya “Intuitive”, paduan merah, hitam, putih dan birunya mencipta nuansa yang begitu magis, kemagisan yang khas dimiliki Bali.

Bicara soal kekayaan Bali, tentu sudah menjadi rahasia umum, baru-baru ini masih ramai pembicaraan soal reklamasi Teluk Benoa di pesisir selatan kota Denpasar yang menjadi polemik. Reklamasi ditujukan untuk menciptakan ikon pariwisata baru, sedangkan sejumlah masyarakat menentangnya karena reklamasi ini bisa membahayakan, menenggelamkan desa yang ada di sekitarnya, seperti Desa Sidakarya, sehingga proyek ini dituding kelak hanya akan menguntungkan pihak investor. Jika “emas” dihadirkan Opheusden dalam lukisannya, kini yang tengah terjadi adalah usaha untuk mengeruk ‘emas’ itu sedalam-dalamnya oleh pihak tertentu. 

Jika Opheusden mampu mempersembahkan “Banten” dalam kecintaannya terhadap Bali, bagaimana dengan warga Indonesianya? 

*dimuat di Jurnal Nasional, Minggu, 30 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar