Rabu, 02 November 2011

“Mencatat Batu”, Mencatat Perasaan dalam Ingatan




Batu, seperti yang kita lihat sehari-hari merupakan benda mati yang begitu kaku, namun benda bisu itu disulap oleh Komroden Haro menjadi sesuatu yang seolah hidup, seperti manusia. Itulah yang terjadi pada pameran tunggalnya yang berlangsung dari tanggal 6-14 Agustus 2011 di Taman Budaya Yogyakarta (TBY). 40 patung-patung yang membatu itu seperti berutur, seolah berbicara. Beberapa di antaranya masih dijadikan Komroden Haro sebagai medium untuk mengangkat cerita tentang kehidupan, semacam perantara pesan dari sang senimannya, tapi beberapa yang tampak istimewa justru ketika batu-batu itu seperti bercerita sendiri, bertutur melalui bahasa diamnya.

Seperti patung batu yang ia beri judul “Berkeringat”, tampilannya begitu sederhana, dengan tonjolan-tonjolan di luar permukaan batu yang merepresentasikan keringat, tapi kesederhanaan itulah yang terasa mengusik, benda yang mati macam batu, dapat dikhayalkan berkeringat layaknya makhluk hidup. Tak jauh berbeda dengan karya “Sleeping Stone” nya, batu kecil yang di atasnya berada tulisan ‘Zzzzz’ mengungkapkan bahwa keheningan yang dimiliki batu bukan berarti ia tidak bersuara, begitu juga karyanya yang berjudul “Family”, yang divisualkan dengan beberapa tumpukan batu yang diikat oleh tali, namun tali-talinya tampak putus di beberapa sisi, seolah mencerminkan makna “Keluarga” yang tidak selalu dalam satu koridor dalam hidup manusia. Bahkan batu pun tidak membatu, ia mampu merasa, layaknya manusia. 




Merajut Puisi pada Batu



Seperti yang dikatakan kurator pameran ini, Rain Rosidi “Batu bagi Komrodin bukan hanya persoalan sebuah material, namun juga karakter bentuk”. Akan tetapi lebih dari itu, pameran ini tak hanya sekedar bermainnya wacana bentuk (form), patung-patung yang tak hanya bermaterial batu – tapi juga logam dan resin – itu tidak hanya menonjolkan apa yang dapat dilihat secara visual saja, tapi seolah dapat didengar. Melebihi yang tampak (beyond the visual) menjadi ciri dari pameran ini, kekuatan karya patung tidak melulu mengutamakan sisi material. Tapi makna-makna tersembunyi (hidden meaning), yang lebih bersemayam pada in absentia, tidak semata pada yang in praesentia, yang dapat dinilai melalui teknik dan bentuk, yang maknanya dapat ditangkap sekarang. Namun karya-karyanya cukup tampak kuat karena Komroden mampu mengkombinasikan keduanya. Patung-patung itu seakan berkisah, entah berdialog, ataupun berbicara sendiri. Benda mati itu bagai bernyawa dan bernafas, berpuisi dengan suara yang begitu lirih, bernyanyi dengan nada yang begitu sepi. Komroden memahat sajak pada patung-patungnya, senada dengan yang disebut Thomas Gray, bahwa puisi adalah pikiran-pikiran yang bernafas. Batu-batu dalam kemasan Komroden telah merajut untaian ide-ide dan kepekaan, hingga menghasilkan alunan puisi yang seolah memanusiakan batu. Serupa juga dengan apa yang dikatakan William Shakespeare dalam All's Well That Ends Well Act 2, scene 1, 72–78 (‘Breathe Life Into Stone’), I have seen a Medicine. That's able to breathe life into a stone, Quicken a rock, and make you dance canary with spritely fire and motion,whose simple touch is powerful to araise King Pippen, nay,To give great Charlemain a pen in 's hand. And write to her a love-line.

Image-image keras dan bisu dari patung-patung seolah dipatahkan oleh Komroden Haro, dilunakkan hingga penciptaannya kembali menjelma dongeng, dongeng tentang sebuah negeri, seperti karyanya yang ia letakkan di bagian depan pintu masuk berjudul “Thanks to Earth”, sebagian lainnya menjelma puisi-puisi tentang cinta dan kehilangan, seperti salah satu contohnya karya yang berjudul “Wish You Were Here”, karya tersebut menampilkan batu yang sedikit bagiannya bolong membentuk rupa wajah manusia, puisi yang mencerminkan kerinduan untuk merasakan kelengkapan, perasaan yang rumpang karena kehilangan. Hal ini senada dengan karya lainnya yang berjudul “Loosing Addres”, yang berbentuk seperti organ hati manusia.

Menonton pameran ini seolah menyaksikan pertunjukkan patung dan batu-batu yang menari dalam gerakan bisu, bernyanyi dalam bisik yang hening, begitu puitis. Patung di tangan Komroden Haro, sebagai benda padat, berisi pemadatan ide, namun telah mencairkan makna di benak setiap apresiator, di setiap hati manusia yang datang menonton, mencatat dalam ingatan, apa-apa yang mereka saksikan dari pameran “Mencatat Batu” ini



Kalau batu saja mampu merasa, bagaimana dengan kita?

 Komroden Haro, ”Sleeping Stone” (2001), 30x35x40 cm, polyester resin (model untuk perunggu) 
Photo by: Haryo Canggih Wicaksono



Tidak ada komentar:

Posting Komentar