Jumat, 21 Agustus 2015

Lika-Liku Hidup di Rusun Pasca Relokasi

Matahari begitu terik menyambut kami di Rumah Susun Sederhana Sewa (rusunawa) Pinus Elok yang terletak di daerah Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur. Hawa gersang begitu kentara. Air yang menggenang di lantai, sampah-sampah yang bertebaran, membuat rusunawa ini terlihat agak kumuh dan kotor. Maklum, warganya terbiasa hidup bebas ketika masih tinggal di pinggiran waduk.
 Untuk sampai ke rusunawa ini, hanya ada angkutan kwk 29, yang bisa diakses dari halte transjakarta Penggilingan, tapi untuk kembali ke halte tersebut di sore hari, angkutannya sudah sangat jarang. Transportasi hanya ojek yang bisa digunakan. Memang tidak terlalu mahal, untuk sampai ke stasiun Cakung misalnya, Anda hanya perlu membayar Rp 10.000  
Tindakan pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk merelokasi warga yang tinggal di pinggiran waduk untuk berpindah ke hunian rumah susun, tentu patut diacungi jempol. Karena bangunan-bangunan di pinggiran waduk dapat mendatangkan kerugian bagi pemiliknya dan juga bagi lingkungan sekitar. Bagaimana tidak, pasokan air bersih tentu sangat minim, keadaan yang kumuh dapat berdampak buruk bagi kesehatan penghuninya. Belum lagi permasalahan banjir yang bisa datang kapan saja, yang diakibatkan dari kurangnya area resapan air di sekitar waduk karena adanya bangunan-bangunan tersebut dan juga sampah-sampah rumah tangga. Seperti contohnya banjir yang melanda warga di sekitar waduk Pluit awal tahun ini.
Meninggalkan rumah yang telah dihuni sekian lama, dan harus berpindah ke tempat baru yang cukup asing, pastilah menimbulkan pengalaman yang mengesankan. Begitu pun yang dialami Wiryo (64), salah satu warga yang direlokasi dari waduk Ria Rio. Ia dan istrinya Listari (60) telah menempati salah satu unit rusunawa Pinus Elok di lantai 1 selama 9 hari. Mereka mengaku merasa lebih senang tinggal di rusunawa, karena tetangga pun tidak ada yang berbeda, tetap tetangga mereka sewaktu tinggal di pinggiran waduk. Merasa tidak hidup dengan tetangga yang berbeda membuat mereka tetap merasa nyaman. “Enaknya di sini air lebih bersih dan lebih gampang, nggak susah kaya dulu di sana (pinggiran waduk Ria Rio). Air susah, mesti mompa, kalau punya uang bisa mandi di wc umum, kalau nggak ya cukup mompa dua ember cukup, tapi airnya nggak bersih, belum lagi kalau untuk air minum.” kenang Wiryo.
Proses relokasi yang bertahap ini awalnya juga melalui perdebatan, karena uang kompensasi yang pertama ditawarkan PT Pulomas Jaya tidak disetujui warga. “Tadinya cuma mau dikasih uang 1 juta, disamain sama yang di Pluit, tapi kan beda, Pluit mah memang tanah negara, kalau di Pedongkelan dulunya memang tanah kosong, tanah tuan tanah. Tadinya hampir ribut, tapi ditengahin sama Jokowi, jangan sampai ada kekerasan. Biar gimana juga ada yang  dari lahir sampai punya cucu tinggalnya sudah di situ.” ujar Wiryo. Awalnya warga meminta kompensasi sebesar 5 juta rupiah, kemudian permasalahan ini ditengahi oleh pemprov DKI, hingga tercapailah kesepakatan 4 juta untuk setiap keluarga ditambah dengan perabotan. Karena kebakaran melanda pada bulan Maret lalu di Pendongkelan, mayoritas warga kehilangan perabotannya. Kini ketika menempati rusunawa mereka mendapatkan televisi, regulator gas, tabung gas, kulkas, lemari baju, kompor gas, tempat tidur, emergency lamp, kipas angin dan dispenser.
Namun, menurut Kepala Unit Pelaksana Rumah Susun Wilayah III Timur, Dinas Perumahan dan Gedung Pemda DKI Jakarta, Jefyodya Julian, fasilitas barang yang disediakan dalam setiap unit tidak bisa dimiliki warga sepenuhnya. Barang-barang tersebut hanya dipinjamkan selama warga masih menghuni rusun tersebut. "Ini bukan hak milik warga, kalau hilang nanti warga harus menggantinya, maka dipasang barcode setiap unit barang agar terdata," ujarnya

Tidak merasa keberatan
Wiryo cukup berlapang dada ketika harus pindah, meski anak-anaknya sempat khawatir bagaimana keadaannya pasca pindah tempat tinggal dari wilayah yang sudah didiaminya sangat lama. “Rumah saya juga sudah dirubuhin di sana. Bagi saya sudah nggak ada keberatan sama sekali, karena biar gimana pun, itu bukan tanah kita, cuma numpang di sana.” tutur Wiryo.
Sehari-harinya Wiryo bekerja sebagai tukang bangunan di perumahan Kelapa Gading, yang tidak mempunyai penghasilan tetap setiap bulannya. Setiap berangkat kerja, bapak tiga anak ini selalu mengayuh sepeda menuju Kelapa Gading. “Kerja serabutan kan kadang hari ini kerja, besok-besok bisa nggak kerja, kalau sekarang sewa unitnya masih Rp 234.000 per bulan masih sanggup, tapi kalau tiap tahunnya harus naik, bisa nggak sanggup saya.”
Harga sewa di lantai satu memang yang paling mahal. Untuk setiap lantai di rusun ini dikenakan biaya yang berbeda. Harga sewa di lantai satu di rusun ini adalah sebesar Rp 234 ribu ber bulan. Untuk lantai dua harga sewanya Rp 212 ribu per bulan, untuk lantai tiga Rp 192 ribu, untuk lantai empat Rp 173 ribu per bulan dan untuk lantai lima 156 ribu per bulan. 

Minimnya informasi penggusuran pasca kebakaran
Meski sudah merasa lebih enak tinggal di rusunawa, ada yang sedikit disesali para warga, terutama masalah setelah kebakaran yang terjadi pada bulan Maret lalu, pemerintah tidak menjelaskan sedikitpun kapan rumah warga di waduk Ria Rio akan digusur. “Waktu kebakaran itu kita tinggal di tenda, Pak Jokowi waktu itu sering bolak-balik ke tenda, terus kita tanya, ‘Pak, Saya denger-denger katanya Pendongkelan ini mau digusur, boleh nggak dibangun lagi rumahnya?’ terus dia bilang benar mau digusur, tapi masih lama, dia bilang silahkan saja bangun lagi, tapi nggak usah bagus-bagus, gitu sarannya Jokowi.”
Dari bulan Maret itu warga baru diberi tahu lagi soal penggusuran setelah lebaran Idul Fitri kemarin. “Karena dibilang boleh ngebangun, jadi pada bangun, ada yang sampai hutang-hutang, minjem sana-sini. Sudah keluar uang berapa jadinya untuk bangun.”
Di wajahnya yang tampak guratan usia yang menua, Wiryo pun menjelaskan asal muasalnya ia bisa mendirikan rumah di pinggir waduk Ria Rio. “Tadinya saya ngontrak sekitar tahun 1980, pas harga satu kamar masih Rp 2.500, masih sepi waktu itu. Tadinya di situ tanah kosong, jadi dipunyain ramai-ramai. Tahun 90-an saya bangun rumah di situ, pas masanya presiden  Soeharto, 2 RT digusur, tapi saya nggak kena, yang digusur RT 8 dan 9, saya di RT 6, lambat laun makin banyak warga yang bangun rumah di situ. Nggak ada yang larang, kita cuma ngasih uang rokok ke RT dan RW. Terus tanah itu diakuin sama Pulomas, katanya mau dibikin taman Ria Rio, sudah ada sih yang saya lihat jadi taman.” Memang rencananya Waduk Ria Rio akan dikembangkan oleh pemilik areal waduk, PT Pulomas Jaya, sebagai kawasan pengendali banjir dan ruang terbuka hijau. Waduk seluas 7 hektar itu akan dioptimalkan sebagai muara sejumlah saluran air di kawasan Pulomas, yang kemudian airnya dipompa ke Kali Sunter. Sementara areal daratan di sekitar waduk yang mencapai lebih dari 13 hektar, ditambah 5 hektar dari pembebasan lahan, akan menjadi ruang terbuka hijau.


Gotong Royong tetap ada

Meski sudah berpindah di hunian rusun, gotong royong tetap terjaga di antara warga, karena mereka sudah bertetangga cukup lama. Listari yang sudah sakit-sakitan, tak bisa berpergian jauh, karena itu untuk membeli kebutuhan rumah tangga seperti sayur, lauk dan sebagainya, Listari selalu menitip pada tetangga untuk membelikannya, karena semua tetangga juga tahu keadaannya Listari. “Kalau jarak jauh, istri saya harus dituntun. Karena yang pindah ke sini satu kampung saya jadi nggak khawatir ninggal-ninggal dia.” ucap Wiryo


*ini tulisan pertama saya ketika bekerja di Jurnal Nasional. Saya membuatnya pada tanggal 10 Oktober 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar