Jumat, 18 April 2014

Toto dan Garis-Garis Wajah yang Tak Pernah Selesai

April 18, 2014 0

 Tidak ada hasil yang selesai dari sebuah sketsa. Pada hakikatnya, sketsa bukan gambaran utuh. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sketsa mengandung arti sebuah lukisan cepat, hanya garis-garis besarnya saja. Gambaran besar tanpa detail, rancangan kasar, begitu kira-kira pengertian ringkasnya. Itu pun yang terlihat dari karya-karya Toto BS.  “Kekasaran itulah sebuah keindahan.” ungkapnya pada saat pembukaan pameran tunggalnya di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki. Pameran “Sketsa Spontan” ini berlangsung dari tanggal 5-10 April 2014 dan merupakan pameran tunggal ketiga Toto setelah sebelumnya berpameran di Rumah Proses Bandung (2009) dan Galeri Millenium (2009).   
Spontan berarti serta merta, tanpa dipikir, dan melakukannya dengan dorongan hati. Toto menangkap ekspresi lebih dalam dari bidikan kamera. Dua kali saya dibuatkan sketsa di kertas oleh Toto, dua kali juga saya mendapatkan gambaran yang berbeda. Pada gambar pertama wajah saya tampak sendu, padahal saya tidak memperlihatkan rona sedih sedikitpun. Di gambar kedua di waktu yang berbeda, wajah saya tampak lebih tenang. Mungkin yang tidak saya perlihatkan itulah yang ditangkap olehnya. Dalam momen tertentu, orang yang dilukisnya bukan menjadi objek pasif, mereka tetaplah subjek. Subjek lukisan. Mereka melihat kanvas, mereka menyaksikan wajah mereka dilukis di kanvas oleh Toto, ya, Toto selalu mengatakan “Lihat ke kanvas” pada orang yang dilukisnya, karena bagi dia subjek lukisannya penting melihat proses, bukan semata-mata mendapatkan ‘karya jadi’. Yang Toto lakukan bukan memindahkan wajah dari apa yang dilihat ke dalam kanvas, tapi yang ia rasakan juga terhadap subjek di hadapannya, “Bisa jadi kalau saya buat sketsa pacar saya, hasilnya justru tidak maksimal, tidak murni, karena pasti ada yang saya lebih-lebihkan di sana.” ujar Toto. Karena itu tak heran wajah yang ia hasilkan ada yang berekpresi murung, sendu, tersenyum, terkadang berbeda dengan apa yang tampak saat itu.

Berangkat dari Kekosongan
Ketika memasuki ruang pamer, hanya ada kanvas-kanvas putih bergelantungan dengan ukuran 60 x 80 cm. Tak ada satupun yang ada gambarnya. Pengunjung pun ada yang bertanya-tanya, “Mana karyanya?”
Tentu bukan bermaksud menipu, hal itu memang sengaja. Pameran di sini bukan sekadar pamer karya, tapi juga pamer prosesnya. Toto mengaku tidak merasa malu atau risih jika ketika membuat sketsa ditonton banyak orang. “Saya lebih grogi kalau disuruh bicara di podium.” ujarnya
Kespontanan ini melibatkan pengunjung yang hadir. Pengunjung datang bukan hanya untuk menonton, tapi juga menjadi bagian dari karya. Bermodalkan charcoal, Toto mulai berpameran dengan menggelar aksi spontan membuat sketsa. Merwan Yusuf, Bambang Subekti menjadi subjek yang juga dibuatkan sketsa oleh Toto. Guratan-guratan kematangan tampak begitu jelas di kanvas berisi wajah  Mudji Sutrisno dan Martin Aleida. Dari 40 kanvas, Toto hanya mampu menyelesaikan 34 buah, enerjinya tampak begitu terkuras malam itu. Toto membuat sketsa dengan begitu cepat, sekitar 2 menit, karena itu jika tidak terlalu mirip, itu hal yang wajar, tapi tentu bukan kemiripan yang memang dipentingkan di sini.

Kekosongan itu juga menyiratkan diri Toto sebelum mengenal seni rupa. Belajar secara otodidak, Toto mengatakan cukup telat menggumuli sketsa di usia 40 tahun, kini dirinya sudah menginjak umur 55. “Karya yang saya buat bukan mementingkan bagusnya, tapi yang penting ada koneksi, melibatkan emosi. Karena itu jadi terlihat sangat wajar, ada yang hasilnya bagus ada yang hasilnya jelek.” Baginya karya ada kurvanya, begitu pun  hidup, jika hanya bagusnya saja yang ada, tentu terasa datar.
Kesederhanaan Toto terlihat dari caranya berbicara, caranya berpakaian dan caranya berinteraksi dengan orang lain. Seniman yang selalu merendah, tapi ternyata rupanya banyak orang yang masih mencurigai sebuah kesederhanaan. Saya pernah bertemu Toto lagi pada saat ia buka booth sketsa wajah di sebuah acara di mall, setelah saya disketsa, ia menegur seorang bapak-bapak dan berkata, “Pak, saya mau sket wajah Bapak. deh.” Orang itu hanya memandang sebelah mata. Mungkin ia mengira Toto orang yang aneh, tidak kenal, tahu-tahu bilang mau sketsa wajah, entah apa yang menjadi kecurigaan orang itu, berkata pun tidak, ia menunjukkan wajah yang sungguh tidak peduli. Tapi penolakan macam itu mungkin hal yang biasa, mengalami hal itu sepertinya tidak membuat Toto sakit hati, ia tidak menggerutu sedikit pun dan kembali asyik dengan aktivitasnya.

Sketsa Toto menangkap ‘wajah’ yang ‘tidak selesai’, mungkin tak akan selesai, seyogyanya ‘wajah’ itu sendiri. Dalam wajah seseorang, ada waktu dan pengalaman, pergulatan batin, perasaan, masa lalu dan hal-hal lainnya yang berkontribusi melahirkan guratan-guratan, yang tentu tak akan selesai selagi masih hidup. Tapi ketika subjek lukisannya sudah tiada, sketsa Toto telah mencipta rekam jejak yang mengabadikan momen tertentu di waktu dan tempat tertentu. Goresan di karyanya, mentranformasi guratan di hati orang-orang yang pernah disketsa olehnya. 


*dimuat di Jurnal Nasional, Minggu 13 April 2014

Menatap Bali melalui Kacamata Pelukis Belanda

April 18, 2014 0
Pameran “Banten” Jan Peter van Opheusden



Wajah-wajah polos anak-anak di Bali lengkap dengan udeng-nya (ikat kepala khas Bali) terangkum dalam lukisan “Children of Bali” dari Jan Peter van Opheusden yang dipamerkan di Erasmus Huis, Kuningan, Jakarta, 24 Maret-11 April 2014. “Ketika melukis anak-anak itu, saya memotret mereka terlebih dulu, saya tidak mengkopi, foto hanya sebagai medium.” ujar Opheusden. Anak-anak tentu tidak bisa berdiam dalam waktu lama untuk dilukis.
Selain anak-anak, ada upacara, tarian, dan aktivitas lainnya yang juga Opheusden tuangkan dalam pameran bertajuk “Banten” itu. Kata Banten yang dimaksud bukanlah Banten sebagai sebuah provinsi, tapi ‘Banten’ yang berarti ‘persembahan’ atau dedikasi dalam bahasa Bali. Sejumlah  upacara memang sering sekali bisa ditemukan di Bali, kepada alam, mereka memberikan persembahan dalam bentuk ‘sesajen’.

“Tajen” sebagai kegiatan sabung ayam yang begitu mudah dijumpai di Bali, juga dihadirkan Opheusden. Dari lukisan yang indah-indah ini apa yang bisa ditawarkan lagi ketika para kritikus seni sudah mengatakan, seni lukis telah menjadi ragam kesenian yang mati? “Secara tema, mungkin memang sudah tak ada yang baru, semua sudah diolah, dari segi bentuk pun juga semua sudah digarap, tapi bicara soal subjektivitas dan intuisi dalam seni lukis, itu hal yang tak akan ada habisnya. Sudut pandang seniman itu yang akan selalu berbeda.” ujar Jean Couteau yang  membuat tulisan untuk pameran ini. Bicara soal lukisan Opheusden, berarti bicara tentang rupa melalui warna yang ia rasakan. Dua bulan mengenal Opheusden, Couteau terkesan dengan keluguan dan kespontanannya. “Bicara dengannya seperti menemukan sosok anak-anak dalam dirinya.” Mungkin itu pula yang membuat ragam wajah anak-anak menjadi subjek menarik yang cukup banyak digambarkan Opheusden. Bisa jadi di kepolosan anak-anak itu, ia pun kerap menemukan dirinya. “Di sana (Bali), saya seperti tidak perlu bekerja, saya seperti berlibur setiap harinya.” ujar Opheusden. Pelukis kelahiran Eindhoven 1941 ini hampir setiap tahun berkunjung ke Bali, dan merasa begitu nyaman berada di sana, berada di tengah orang-orangnya, juga budayanya, ia merasa tidak kesulitan membahasakan kebudayaan di sana ke dalam kanvasnya.

Warna emas sebagai simbol kekayaan
Di lukisan “Upacara di Pantai”, tanah atau pasirnya ia hadirkan dengan warna emas. Ia katakan, Bali adalah pulau yang begitu kaya, karena itulah nuansa emas, ia torehkan di berbagai lukisannya, seperti di “Pasar Badung”, “Tajen”, “Banten”, dan “Heaven Can Wait”.  

Bagi Couteau, keajaiban warna hasil pertemuan Opheusden dengan realitas yang menampilkan ekspresi subjektif di karya-karya bernada figuratif milknya ini merupakan suatu hal yang menarik. Intuisi menjadi letak yang begitu penting. Karena itulah menurut Couteau lagi, ketika berhadapan dengan “Banten” Opheusden ini, harus ‘memasukinya’ dalam keadaan ‘kosong’. “Mengkosongkan diri dari segala prasangka dan pengetahuan yang kita punya tentang Bali, untuk kemudian membuka kembali diri kepada intuisi murni, agar bisa menikmatinya, bagaimana ia membangun ruang imajiner dalam benak kita.” Intuisi Opheusden terlihat begitu kuat dalam karyanya “Intuitive”, paduan merah, hitam, putih dan birunya mencipta nuansa yang begitu magis, kemagisan yang khas dimiliki Bali.

Bicara soal kekayaan Bali, tentu sudah menjadi rahasia umum, baru-baru ini masih ramai pembicaraan soal reklamasi Teluk Benoa di pesisir selatan kota Denpasar yang menjadi polemik. Reklamasi ditujukan untuk menciptakan ikon pariwisata baru, sedangkan sejumlah masyarakat menentangnya karena reklamasi ini bisa membahayakan, menenggelamkan desa yang ada di sekitarnya, seperti Desa Sidakarya, sehingga proyek ini dituding kelak hanya akan menguntungkan pihak investor. Jika “emas” dihadirkan Opheusden dalam lukisannya, kini yang tengah terjadi adalah usaha untuk mengeruk ‘emas’ itu sedalam-dalamnya oleh pihak tertentu. 

Jika Opheusden mampu mempersembahkan “Banten” dalam kecintaannya terhadap Bali, bagaimana dengan warga Indonesianya? 

*dimuat di Jurnal Nasional, Minggu, 30 Maret 2014

Pameran Tunggal Sahat Simatupang

April 18, 2014 0
Karya yang hadir apa adanya


Melukis tanpa rencana. Lukisan-lukisan Sahat Simatupang hadir ‘dengan sendirinya’. Ketika berhadapan dengan kanvas putih di hadapan, dirinya tak pernah merencanakan apa yang akan ia buat, ia tidak memikirkan judul atau tema sebagai patokan. Yang terpenting, dirinya harus selalu ‘masuk’, menyatu ke dalam lukisan yang dibuatnya. Tak heran, bentuk-bentuk unik pun muncul, seperti di lukisannya yang berjudul “Kehidupan” ada gambar-gambar ikan di sana. “Seperti ada yang menggerakan saya, jika kemudian muncul bentuk mata, ikan, dan bentuk-bentuk lainnya, jika awalnya gambar orang kemudian berubah menjadi bentuk lainnya lagi yang tampil, itu bukan masalah, bahkan jika nantinya menjadi abstrak pun, juga tidak masalah.” ujar Sahat. Judul dalam sebuah lukisan hanyalah sebuah nama, ia menganalogikan lukisannya seperti bayi yang baru lahir, yang terlahir lebih dulu baru kemudian diberi nama, maka judul lukisan baru diberikannya ketika lukisannya itu jadi. Ia mengatakan bahwa dirinya tidak melakukan ‘rekayasa’ terhadap karya yang diciptakannya, karya itu hadir apa adanya. “Seperti air yang mengalir, saya tidak berusaha untuk bercerita, apalagi mempercantik, saya tidak berusaha membuatnya harus tampil harmonis.” ujar pria kelahiran 1964 itu. Sahat tidak mengambil sesuatu yang jauh dari dirinya, ia bermain di ruang yang sangat privat, dirinya, keluarga, dan segala hal yang dekat dengannya.

“Motif yang saya ambil ke dalam lukisan-lukisan saya berasal dari keseharian, dari keluarga, benda-benda di sekitar, apa saja yang merangsang saya untuk melukis.”
Tanpa tendensi, tanpa tuntutan, atau paksaan dari sang seniman terhadap medium pengungkapan emosinya, dalam hal ini kanvas, karya-karya Sahat hadir melalui kealamiahannya. Pameran tunggalnya ini pun tidak diberi satu tema khusus, berisi 55 karya dipamerkan di Galeri Cipta 2, Taman Ismail Marzuki, sejak 4-14 Maret 2014.
Tak adanya keharusan, berarti ada ego yang dibiarkan luruh menjamahi kanvas putih. Mengalir tanpa kemestian, mungkin naluri yang menjadi stimulusnya. Memprovokasi seluruh indera dan jiwa dalam diri untuk ikut terlibat tanpa membayangkan atau mengekspektasi hasil, karena berjalan tanpa rencana. Bicara soal itu, lihat saja, lukisan tanpa rencana yang pada akhirnya dibubuhi judul “Rencana”, ada goresan-goresan yang abstrak, ada warna-warna yang bertabrakan. Karya ini bisa ditarik pada ‘rencana’ dalam hal yang sangat umum, bukankah seringkali hal-hal yang sudah terpatok, dan tersusun, pada akhirnya mengalir keluar jalurnya dengan sendirinya. Dan sesuatu yang tanpa rencana tetap bisa terus bergerak, tanpa harus mandek, meski di akhirnya ada sesuatu yang belum jelas, belum pasti. Hasil yang tak terbayangkan itu, sering menjelma wujud yang tak disangka sebelumnya, wujud, yang bisa jadi luar biasa, bukankah dalam hidup, seringkali juga dialami yang seperti itu?
Lengkung-lengkung dalam “Rencana” memiliki sedikit kemiripan dengan karyanya “Irama Putih”, hanya saja, goresannya lebih kompleks. Putih tidak menjadi warna tunggal yang tampil di lukisan ini. Ada warna-warna lainnya, meski yang tampil kuat itu putih. Warna hijau, merah dan lainnya tidak hadir begitu pekat. Dan sejatinya, ‘putih’ akan lebih ‘berirama’ jika tidak tampil sendiri dan justru bersanding dengan warna lainnya.
Di “Wajahnya”, Sahat menampilkan wajah yang tak lagi berbentuk wajah dalam artian harfiahnya, ada dekonstruksi di sana, apakah warna-warna itu menampilkan wajah manusia, orang-orang yang ditemuinya, atau bisa jadi juga wajah semesta.


Fase berkarya yang berbeda setelah menikah
Ketika belum menikah, dan pada akhirnya memiliki istri dan anak, baginya proses hidup itu mempengaruhi juga proses kreatif di dirinya sebagai seniman.
Pameran ini merupakan pameran tunggalnya yang ketiga, setelah tahun 1991 dan 1997. Sempat mengenyam pendidikan di Seni Rupa IKIP Jakarta, setelah menikah, Sahat yang sadar perlunya juga penyesuaian diri ketika membentuk keluarga, kembali ke jalurnya, yakni bidang pendidikan, dan memutuskan untuk mengajar seni rupa di sekolah. Ia tak lagi bisa mengedepankan ego pribadi, kebutuhan keluarga tentu menjadi prioritas.
“Seindah-indahnya sebuah lukisan, jauh lebih indah senyum anak saya.” Ia mengaku, sebelum menikah, karya-karya tampil lebih ‘liar’. Ada pergeseran yang ia rasakan, karena interaksi dengan keluarga, langsung maupun tidak langsung mempengaruhi emosi dan perasaannya. Hidupnya tentu berubah, sudah tak bisa lagi sembarangan karena juga harus memikirkan kelangsungan hidup keluarga. Perubahan itu pun terlihat dalam karyanya, yang dirasakan oleh Prisade, Sd yang telah mengenalnya sejak tahun 83-an, ketika keduanya tergabung di sanggar yang sama bernama Sanggar Garajas. “Setelah berumah tangga, ‘garis’ Sahat mengalami evolusi, menjadi demikian lebar yang dikembangkan juga melalui kanvas yang lebih lebar lagi, hingga medan energinya semakin terbebaskan dari ketegangan.” jelasnya dalam catatan untuk pameran ini.

 *tulisan ini dimuat di Jurnal Nasional, Minggu 23 Maret 2014