Minggu, 16 Maret 2014

Pameran Tunggal Bismar Siagian; Menyigi Beragam Masalah Realitas melalui Lukisan Surealisme

"A Day in My Dream"



Bismar Siagian




Ada baju melayang berjalan menaiki tangga, ada jendela dan sofa di langit-langit, ada pintu yang terbalik di dinding, ada rongga di dinding menuju ke tempat lain dengan tangga lagi, pembubuhan nuansa temaram dalam ruang, melengkapi keutuhan lukisan “A Day in My Dream” karya Bismar Siagian. Lukisan ini cukup mencuri perhatian dalam pameran tunggalnya yang berlangsung di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, 5-13 Maret 2014. Gaya Bismar terlihat sekali mengikuti ciri surealisme ala Salvador Dali. Bismar sendiri adalah lelaki berusia 24 tahun yang kelahirannya hanya berjarak setahun dari kematian Dali. Jika surealisme mendewakan mimpi dan alam bawah sadar. Bismar mencoba ‘membawa kenyataan realitas’ dalam surealismenya dengan menyisipkan pesan-pesan tentang keadaan yang sedang terjadi di Indonesia. Ia mengkritik persoalan lingkungan dengan cara yang begitu halus. Seperti contohnya ketika ia menggambarkan “End of Forest”, ia memperlihatkan beberapa pohon yang hanya tinggal sisa batangnya. Di pohon yang masih berdiri, Bismar menggambarkan raut sedih dari ruas-ruas batang pohon. Beberapa karyanya tampak mengangkat persoalan lingkungan. “Imbalance” dalam pameran ini memang diperesembahkan untuk menunjukkan ketidakseimbangan yang tengah terjadi di alam akibat ulah manusianya. 


                         "End of Forest"

“Bismar memang mengambil semangat Salvador Dali, tapi dia gabungkan dengan kenyataan, ada kesadaran moral dari apa yang dilihat Bismar.” ujar Indra Porhas Siagian yang menjadi kurator pameran ini sekaligus juga kakak kandung Bismar. Karya-karya indah ini lahir dari seseorang yang tidak mengenyam pendidikan seni. Dan “Imbalance” ini merupakan pemeran tunggal pertama Bismar, sebelumnya ia pernah ikut serta dalam pameran kelompok di Guddang Gallery dan Museum Layang-Layang Jakarta.


              "Negara tanpa Kepala Negara"

                
Mengenai kondisi negara, Bismar mencoba mengkritik dengan halus tanpa mengesampingkan estetikanya pada di lukisan “Berebut Kursi” dan “Negara Tanpa Kepala Negara”. Di “Misogyny”, Bismar melihat kondisi perempuan yang masih mengalami diskriminasi, dengan melukiskan perempuan yang bagian tubuhnya diisi oleh jam pasir, di seberangnya berbaris tubuh-tubuh berdada bidang dengan kepala seperti benteng catur.

Pelukis yang Mensensor Karyanya Sendiri
Kritik tidak perlu sadis dan sarkasme. “Bicara soal kejahatan tidak perlu menampilkan darah.”  Begitu menurut Indra. Sensor yang dilakukan Bismar terhadap karyanya sendiri membuat kritik-kritik yang tergambar tidak nampak radikal, tapi cenderung halus dan manis.
Seperti contohnya karya yang berjudul “After The Rain” tampak seorang gadis kecil sedang bermain biola di hutan dengan wajah yang murung, catatan di samping lukisannya tertulis hanya hujan yang mampu menghentikan pembakaran hutan. Secara kasat mata pesan itu tidak terlalu gamblang digambarkan. Ini yang Indra maksud bahwa Bismar mensensor karyanya sendiri. Kritik sosial tetap bisa dikemas dengan kebutuhan visual zaman sekarang. Keadaan langit yang abu-abu menyiratkan asap atau mungkin kelabu selepas hujan. Seperti yang diketahui kabut asap akibat pembakaran hutan di Riau masih terus berlangsung.
         "Perpustakaan Impian"

Dari penyensoran itu ada yang nampak kurang tepat. Seperti pada karya “Perpustakaan Impian”, ia menggambarkan ruang perpustakaan yang dipandang oleh dua orang dari rongga seperti jurang dari lantai perpustakaan. Mungkin yang ingin disindir oleh Bismar  adalah persoalan pendidikan mahal yang sulit dijangkau untuk seluruh kalangan. Kalau bicara soal perpustakaan, umumnya sudah bisa diakses siapa pun. Jadi bagi yang ingin mendapat ilmu tapi harga buku terasa mahal sangat bisa untuk membacanya di perpustakaan.
Hanya ada satu karya yang memakai medium pensil di kanvas, berjudul “Echoes of Life”, menurut Indra karya ini bisa dibilang masterpiece nya Bismar, karena awalnya Bismar terlatih melalui pensil di atas kertas. Jadi karya ini merekam jejak awal Bismar menggeluti dunia seni rupa.

Di “Pemburu HAM (Hak Asasi Manusia)” Bismar melukiskan orang dengan wajah datar yang menjaring telinga-telinga yang menjadi ulat di ranting pohon, dalam catatan di samping lukisannya ia mengangkat persoalan bahwa mendapat informasi adalah hak setiap warga negara, tidak terkecuali mereka yang dianggap berbahaya bagi kaum penguasa. Sedangkan “Impian Labirin” menampilkan seorang anak dengan wajah lugunya berada di labirin, anak kecil itu bisa saja ia representasikan sebagai dirinya pribadi, atau generasi muda saat ini yang kebingungan dalam batas-batas dinding-dinding sosial, budaya, politik dan ekonomi di negara ini. Melalui karya-karya yang tidak radikal ini, lukisan Bismar begitu memanjakan mata, selain sangat cocok untuk mempercantik ruangan, sekaligus membuat imajinasi penikmatnya penuh dengan inspirasi.

"Impian Labirin"

photo by: Benny Wibisono
*ulasan pameran Bismar Siagian dimuat di harian Jurnal Nasional, Minggu, 16 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar