Selasa, 31 Desember 2013

Berpindahlah, Jika Kenyamanan Sudah Mematikan Tumbuh Kembang

Desember 31, 2013 0

Ini tahun baru. Di hari pertama di tahun 2014. Saya membuat keputusan besar yang cukup melelahkan (lagi). Pindah kosan. Biasa saja sebenarnya. Tapi jadi tidak biasa, karena kosan saya di daerah Permata hijau ini baru saya huni selama 2 bulan sejak November kemarin. Sedangkan di tahun 2013, saya juga sudah dua kali pindah kosan. Tidak betah? Awalnya. Tapi justru bisa saya katakan saya sangat betah di kamar nomor C 7 ini. Berada di lantai tiga, dan bisa melihat langit kapanpun dimau, juga gedung-gedung yang romantik dengan lampu-lampunya di malam hari. Berat meninggalkannya.

ini kamar di kosan permata hijau, asyik kan, kamar mandi dalem pula :)


Saya sangat betah. Saya sangat nyaman ada di sini. Sekaligus juga timbul kegelisahan. Mungkin saya orang yang aneh. Ketidaknyamanan adalah suatu hal yang selalu saya maklumi, tapi jika sudah nyaman, saya jadi curiga.
Lambat laun saya malas kemana-mana, bahkan untuk pulang ke rumah. Kamar ini sampai mengalahkan kenyamanan rumah tempat saya tinggal di Tangerang. Bagaimana bisa? Di sini saya hanya numpang. Di Tangerang memang rumah milik orang tua saya, tapi saya tidak perlu membayar sewa setiap bulannya. Kamar kosan ini bukan milik saya, saya hanya sewa. Kalau tak bisa bayar sewa seterusnya, saya bisa didepak oleh yang punya kosan. Saya selalu cemas, jika merasa terlalu nyaman pada sesuatu yang jelas-jelas bukan milik saya.
Saya khawatir jika merasa terlalu betah di tempat yang jelas-jelas saya hanya singgah.
Kosan ini cukup sulit dijangkau dari berbagai arah. Sebagai reporter yang harus berpergian terus, tempat ini bisa dibilang membuat saya kurang fleksibel. Dari kantor saya (Jurnal Nasional) saja yang terletak di Menteng, dari sini harus ke arah Tanah Abang terlebih dahulu, kemudian naik ojek. Dari segi pengeluaran untuk transport, tinggal di Permata hijau cukup menguras dompet. Mengingat wilayah liputan saya seputar Taman Ismail Marzuki, Galeri Nasional, Kemang, Senayan, dan Mall-Mall di pusat kota. Tidak efisien tinggal di Barat Jakarta ini dengan keadaannya yang cukup sering macet juga, dan banjir. Faktor-faktor di luar yang tidak mengenakkan itu membuat saya semakin enggan keluar, terlebih kantor saya tidak mengharuskan wartawannya ke kantor setiap hari, jadilah membuat saya semakin terlena di kamar kosan.
Tapi, terlena dalam sebuah kenyamanan sangat mungkin melumpuhkan. Dan saya tidak suka.
Tapi, bukankah orang pergi meninggalkan kenyamanan semata untuk mencari kenyamanan bentuk lainnya, yang awalnya selalu harus dirasakan ketidaknyamanan terlebih dahulu?
Bisa jadi. Selagi kenyamanan itu tidak membuat mandeg, stuck, lumpuh, bagi saya itu belum bahaya. Saya masih bisa bergerak, tumbuh dan berkembang. Itulah mengapa saya selalu mencurigai kenyamanan. Karena dampaknya bisa dua. Terlena dan lumpuh, atau justru mendukung daya tumbuh kembang. Tapi satu hal yang pasti, kenyamanan bisa memanipulasi kewaspadaan kita. Kita jadi kurang mawas diri, ya, karena keterlenaan itu tadi, kita lupa untuk hati-hati.
Tapi, berpindah juga pastinya mendatangkan kekhawatiran baru. Apalagi saya pindah kosan ke kos lama saya di Wahid hasyim, kosan yang saya tempati ketika masih jadi reporter di Koran Jakarta. Kosan yang pastinya menyimpan banyak memori, dan cerita masa lalu. Kenapa saya sempat pindah? Karena saya sempat bekerja di penerbit Demedia yang terletak di Ciganjur dan membuat saya akhirnya memilih tinggal di Cilandak.
Setiap ada di kamar kosan baru, saya akan sulit tidur beberapa hari. Saya harus menyesuaikan diri dengan “hantu-hantu” yang telah bersemayam sebelumnya. “hantu-hantu” baru, yang entah akan senang dengan diri saya atau tidak.
Karena akan pindah ke kosan yang pernah saya tempati sebelumnya (hanya beda kamar, tapi masih di satu rumah). Mungkin saya tak perlu ‘berkenalan’ lagi dengan ‘penunggunya’. Tapi tinggal bersama lagi dengan “hantu-hantu” dari masa lalu bukankah jauh lebih mengerikan?
Kenangan akan kembali menghadirkan hal-hal yang sebenarnya tak ingin diingat. Ruang memang terkait erat dengan perasaan. Ketika berada dalam ruang, perasaan kita ikut berinteraksi di dalamnya. Dalam hal ini saya mengutuk Bachelard, yang telah mematenkannya menjadi teori dalam fenomenologi arsitektur.

Pesan (sok ber-) moral dari tulisan ini:
Soal pindah kosan ini, soal kebetahan ini, bisa ditarik lagi pada masalah yang lebih dalam lagi. hati.
Jangan lupa untuk cemas dan hati-hati jika sudah merasa sangat betah berhubungan dengan seseorang yang jelas-jelas bukan hak kita.
Jika sudah pernah pindah ke lain hati dan harus kembali pada yang lama, jangan lupa untuk berdamai dengan “hantu-hantu” masa lalu yang sudah saling kenal. Meski telah lama kenal, tak ada jaminan tak akan membuat ngeri, bukan?
Waktu selalu menyimpan perubahan, bersiap-siaplah. 

Rabu, 18 Desember 2013

Pulang, Tak Selalu Berarti Kembali Ke Titik Awal

Desember 18, 2013 3

Setiap kita pergi kemanapun, menghadiri acara ulang tahun teman, bekerja, berkencan, liburan dan aktivitas apapun yang kita namakan ‘pergi’, pasti selalu diiringi dengan kata ‘pulang’. Kemana pulangnya? Sama siapa pulangnya? Naik apa, dan lain sebagainya.

Padahal kita KADANG nggak tahu betul kita mau pulang kemana, kita kadang nggak bener-bener pengen pulang, kita cuma pengen pergi, kita cuma tahu itu.

Apa pulang selalu identik dengan rumah? Rumah seperti apa? Rumah fisik dengan isi keluarga kita? Apa jadinya kalau rasa betah itu lebih lo rasain di luar rumah?
Apa jadinya kalau ketika lo pergi, ketika lo berada di tempat-tempat baru, lo justru selalu ngerasain ‘pulang’.
Selalu ada rindu yang buat lo ingin kembali mengunjungi tempat-tempat itu, tempat dimana justru nggak ada rumah asal lo, nggak ada keluarga lo, nggak ada orang yang lo kenal, tapi lalu semua yang asing itu menjadi terlalu akrab, karena lo mengakrabi keterasingan dan lo menikmati itu. Kemudian mereka yang asing itu menjadi keluarga, keluarga yang mungkin tidak akan menetap di satu tempat saja dan menunggu lo pulang, tapi keluarga yang bisa ada di manapun, bahkan di setiap jejak kepergian lo.

Keluarga yang bisa lo temukan tanpa mesti punya ikatan darah; rumah yang selalu membuat lo nyaman tanpa lo harus menetap.

Setiap pengelana akan selalu merindukan pulang, meski kepulangan tak selalu berarti kembali di titik awal, tapi bisa jadi, pulang ke setiap kepergian yang telah dilaluinya.